Thursday, March 27, 2008

Ikatan Hati dan Janji

Di desa tua itu, kita dilahirkan
Dengan pengorbanan orang tua kita
Agar dapat melihat dunia yang tidak
mengharapkan kedatangan kita

Di desa tua itu, kita pertama kali
Mengenal apa itu cinta, benci, rindu, sayang, marah, iri, senang, duka, derita,
kematian, kehidupan, pengorbanan, kesetiaan, pengkhianatan, penderitaan, kejujuran, kebohongan, kebersamaan, pengharapan, penolakan, penerimaan,
kepalsuan, dan semua perasaan yang selalu bertumpuk menjadi Satu

Di desa tua itu, kita mendengar kicau burung yang terbang di langit,
Merasakan desir angin yang berlari di atas sawah hijau
Melihat kilau pucat purnama yang menggantikan semburat matahari senja
Mencium hujan yang mengisi kerongkongan tanah yang kering
Menyuarakan nyanyian alam yang menyejukkan hati

Di desa tua itu, kita bertemu untuk menjadi sahabat selamanya
Mematri ikatan dalam hati, berjanji agar tak terpisahkan oleh waktu
Bersama – sama selalu, saling menjaga dan memberi

Di desa tua itu, kita berpisah menggapai impian masing – masing
Dengan janji akan kembali 20 tahun lagi, menghidupkan desa ini
Dan menagih ikatan hati yang terpatri

Di desa tua itu, 20 tahun yang lalu kita saling berjanji
Tapi di mana kau saat ini, wahai sahabatku?
Saat desa tua itu dijamah, dijajah, dirusak, dibodohi, dihancurkan,
oleh kotakota remaja busuk yang sedang mabuk dalam kekayaannya
dan menyembah apa yang disebutnya uang

Di desa tua itu, kotakota itu mendirikan
Gedung – gedung pencakar yang merusak biru langit sarang burung,
Mal – mal megah yang menghalangi sawah hijau merasakan angin,
Lampu – lampu pemboros energi yang mengalahkan kilau pucat purnama,
Pabrik – pabrik barang rongsokan yang mengisi udara dengan polusi,
Panggung – panggung konser yang mengotori suara hati

Di desa tua itu, aku sekarang berdiri
Menanti janjimu serta ikatan hati
Aku akan tetap di sini hingga kau datang

Di desa tua itu, tempatku menunggumu
Di kuburan sampah bekas rumah kita
Namun kau tak kunjung datang
Meskipun matahari merah silih berganti

Di desa tua itu, aku menunduk ragu
Membuang harapan kita memajukan desa
Membuang harapan kau akan datang
Membuang harapan untuk tetap hidup

Di desa tua itu, ketika aku akan pergi
Kau datang memelukku dengan segunung harapan
Menancapkan kembali impian yang lama hilang
Mematri kembali ikatan hati dan janji

Di desa tua itu, 20 tahun kemudian
Kita bersatu lagi, membangun desa tua
Menjadikannya sebuah kota muda yang maju
Tanpa gedung pencakar yang merusak langit
Tanpa mal megah yang menghalangi angin
Tanpa lampu boros yang mengalahkan purnama
Tanpa pabrik rongsokan yang membuat polusi
Tanpa panggung konser yang mengotori hati

Di desa tua itu, kita mendengar kicau burung yang terbang di langit,
Merasakan desir angin yang berlari di atas sawah hijau
Melihat kilau pucat purnama yang menggantikan semburat matahari senja
Mencium hujan yang mengisi kerongkongan tanah yang kering
Menyuarakan nyanyian alam yang menyejukkan hati

Di desa tua itu, kita bertemu untuk menjadi sahabat selamanya
Mematri ikatan dalam hati, berjanji agar tak terpisahkan oleh waktu
Bersama – sama selalu, saling menjaga dan memberi

Akan Abadi

Aku berkelana sendirian
di ujung dunia, di ujung harapan
Tanpa teman yang sanggup mengerti

Diamlah! Aku ingin sendiri!
Tidakkah kau mengerti,
temanku sudah pergi
hanya tinggal aku sendiri

Tapi bukankah masih ada aku,
dan dia?
Kau tidak sendiri,
kita Bertiga

Tidak!
Kalian bukan temanku!
Bukan sahabatku! Bukan keluargaku!
Bukan kekasihku! Bukan siapa – siapa!
Pergi!

Tapi kami selalu bersamamu
Di mana pun, kapan pun, bagaimana pun
Dan kau masih tidak mengakui kami? Kenapa?

Karena kita berbeda, kita bertiga berbeda

Berbeda? Bukankah kita sama – sama makhluk Tuhan?

Mungkin, tapi
aku hanyalah segumpal darah dan
daging, di tulang – belulang
yang ditutupi tanah. Dengan ruh yang
dapat diambil sewaktu – waktu oleh-Nya

Tapi, apa kau lupa? Aku
hanyalah setitik api yang setia
padamu, mengingatkanmu
untuk membenci apa yang harus kau benci

Dan juga aku,
Seberkas cahaya dari-Nya,
yang menyinarimu supaya
kau tidak lupa mencintai
sesamamu, yang mencintaimu

Ya, aku ingat, tapi
Aku juga ingat,
Kalian adalah 2 sahabat sejati
yang sudah ada sejak dulu
Sebelum manusia ada
Sebelum dunia terbentuk

Lalu, apa yang akan kau lakukan,
Wahai Manusia? Jika kami pergi
Takkan ada kegelapan dan cahaya,
Hanya kehampaan tiada akhir

Entahlah. Aku hanya akan berjalan terus, hingga kematian menjemputku
Dan bila iblis, malaikat, bahkan Tuhan pun tak mau mencabut nyawaku
Catatlah ini wahai cahaya dan kegelapan,
Bahwa manusia juga bisa
Abadi

Wednesday, March 26, 2008

Alam Perang

Dan ketika logam beradu logam,
pedang beradu perisai, tembaga
beradu besi

Dan angin dingin meniup kejam
mencabut, menerbangkan,
rumput – rumput hijau, dedaunan
yang mati, tidak bisa menggapai
Matahari

Di pohon – pohon yang terbakar
terlalap api kemarahan, dari
kilat dan petir penguasa langit
yang mengutuk manusia penuh dosa

Dan es, dan air, dan kabut, dan embun,
mengharu biru menjadi satu, menuju
Bumi berbatu, bergabung dengan sungai
darah merah yang tumpah ruah

Dari peperangan yang menyisakan
kekalahan, kesengsaraan, keputus asaan,
manusia peperangan di padang gersang,
yang melawan kemenangan, kebahagiaan,
harapan, kepercayaan, milik manusia
Putih Suci